Falsafah Dhuha, Mengetuk Pintu Rejeki: Refleksi Fenomena Shalat Dhuha di Madrasah [Part 1]

Pendahuluan

Salat Dhuha menjadi fenomena yang tidak asing dalam tradisi orang Indonesia. Bahkan sampai lembaga-lembaga seperti sekolah menjadikan Salat Dhuha sebagai program wajib mingguan. Tujuan dari program tersebut tidak lain memumuk atau bahkan melejitkan aspek spiritual dari setiap warga sekolah.  Atau bahasa kerennya adalah melejitkan kecerdasan spiritual, dalam arti memberikan ruang kepada warga sekolah untuk merasa selalu terikat dengan Allah swt.  Karena hakikatnya, manusia adalah wujud yang bergantung (rabith) pada-Nya. Dia tidak bisa mewujud tanpa-Nya.

Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Muhammadiyah Plus Cisaat pun salah satu lembaga yang memprogramkan kegiatan tersebut dengan tujuan melejitkan kecerdasan spiritual. Biasanya  program ini dilakukan pada setiap Sabtu pagi oleh seluruh warga madrasah. Pada realisasinya, Madrasah juga memberikan ruang kepada siswa/i untuk melejitnya kemampuan public speaking dengan menjadi petugas ceramah singkat secara bergiliran.

Falsafah Salat Dhuha: Mengetuk Pintu Rejeki

Lalu apa esensi dari Salat Dhuha itu? Untuk melihat falsafah (esensi dari Salat Dhuha) itu sendiri, kita akan melihat common sense dan nash agama. Secara umum dalam pengetahuan masyarakat umum (common sense) terkhusus Islam, Salat Dhuha merupakan perantara (washilah) untuk mengetuk pintu rejeki. Biasanya fenomena ini dilakukan oleh mereka yang akan melakukan pekerjaan atau mencari nafkah. Mereka belum percaya diri, sebelum melaksanakan Salat Dhuha.

Keyakinan itu bukan tidak beralasan, sebagaimana diungkap dalam beberapa riwayat bahwa salat Dhuha ini akan menjadi perantara bagi tercukupkannya kebutuhan hidup. Misalnya hadis yang diriwayatkan dari Tirmidzi.

“Wahai anak Adam, rukuklah pada waktu awal siang (Salat Dhuha) empat rakaat karena Aku, maka Aku akan mencukupi (kebutuhan mu) sampai sore nanti.” (H.R. Tirmidzi)

Jika kita kaitkan dengan salah satu ayat al-Qur’an, bahwa ketakwaan akan menjadi perantara bagi datangnya rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka.

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا (2) وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبُ وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْرًا (3)

“…Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS. al-Thalaq: 2-3)

Dari pendeskripsian ayat dan riwayat di atas, tidak dapat divonik salah juga ketika orang-orang melakukan salat Dhuha dengan harapan memperolah rejeki. Akan tetapi, pertanyaan selanjunya adalah, apa itu rejeki? Dalam common sense, baik sadar atau pun tidak, terkadang manusia selalu menyebutkan rejeki dengan hal-hal yang material semata. Seseorang dikategorikan rejekinya melimpah ketika memiliki banyak uang, makan enak, rumah mewah, jabatan tinggi atau bahkan isteri cantik dan suami ganteng.

Di satu sisi lain, falsafah Shalat Dhuha dapat dimaknai bahwa keterikatan kepada Allah swt –sebagai penentu segala kejadian alam ini, akan  memberikan pengaruh psikologis dalam melakukan aktivitas. Bahkan seorang ulama tafsir seperti Makarim Syirazi menyebutkan bahwa dengan menyertakan Allah swt dalam setiap kegiatan (dengan membaca kalimat bismillah) seolah kita melaksanakannya dengan didampingi oleh Dzat yang Mampu melakukan segalanya. Bukankah juga, justru akan memberikan spirit optimis kepada kita dalam melakukan pekerjaan tersebut?.[]

Baca juga: https://mampluscisaat.sch.id/blog/falsafah-dhuha-mengetuk-pintu-rejeki-refleksi-fenomena-shalat-dhuha-di-madrasah-part-2/

Penulis: Beta Firmansyah, S.Ag.