Apa itu Rejeki?
Setelah menyimpulkan bahwa falsafah Salat Dhuha adalah mengetuk pintu rejeki, maka petanyaan selanjunya adalah ‘apa itu rejeki?’. Untuk memperjelas term ‘rejeki’ (dalam bahasa arab ra-za-qa) harus merujuk kamus bahasa Arab (jika melihat istilah rejeki dalam bahasa Arab) atau bahasa Indonesia (melihat sebagai kata serapan). Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), term rejeki didefinisikan sebagai “segala sesuatu yang dipakai untuk memelihara kehidupan (yang diberikan oleh Tuhan); bisa berupa makanan (sehari-hari); nafkah.” Dari definisi ini, KBBI lebih cenderung positivistik, karena mengkonotasikan rejeki hanya dengan materi semata.
Adapun jika kita merujuk pada kamus bahasa Arab, misalnya dalam kamus Mishbah al-Hidayah, rejeki dimaknai sebagai ‘yang memberikan manfaat’ atau dalam Mufradat fi Alfadh al-Qur’an, kata rejeki merujuk pada pemberian yang kontinu, bisa berupa materi (duniawi) maupun immateri (ukhrawi):
يقال للعطاء الجاري تارة دنيويّا كان أم اخرويّا
Hasan Musthafawi mendefinisikan rejeki dalam al-Tahqiq fi Kalimat al-Qur’an yaitu:
انّ الأصل الواحد في هذه المادّة: هو انعام مخصوص بمقتضى حال الطرف و مطابق احتياجه لتدوم به حياته
“Makna inti dari rejeki yaitu suatu bentuk nikmat yang tertentu yang diberikan sesuai dengan kondisi dan keadaan serta koresponden dengan kebutuhan manusia untuk keberlangsungan hidupnya.”
Dari definisi ini, Raghib dan Musthafawi tidak membatasi rejeki hanya pada konteks materi (duniawi) saja. Bahkan dalam penjelasan selanjutnya, sebagaimana Raghib, justru Musthafawi menyebutkan dua kategori rejeki, yaitu duniawi dan ukhrawi. Hal inipun senada dengan definisi dari Raghib Isfahani. Deskripsi ayat-ayat di bawah akan memperjelas maksud dari penulis:
Ayat tentang rejeki materi (duniawi):
و الرزق امّا في المادّيّات كما في-. كُلُوا مِمَّا رَزَقَكُمُ اللَّهُ حَلالًا طَيِّباً* …،-. كُلُوا مِنْ طَيِّباتِ ما رَزَقْناكُمْ* …،-. وَ ارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَراتِ.
Ayat tentang rejeki immateri (ukhrawi):
و امّا في المعنويّات كما في-. أَوْ ماتُوا لَيَرْزُقَنَّهُمُ اللَّهُ رِزْقاً حَسَناً …،-. بَلْ أَحْياءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ …،. لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَ رِزْقٌ كَرِيمٌ*.
Ayat-ayat di atas berkorelasi (munasabah) dengan QS. al-Thalaq ayat 2-3 (lihat deskripsi awal) yang menyebutkan syarat memperoleh rezeki yaitu bertakwa. Pertanyaannya, apakah untuk mendapatkan rejeki (jika dibatasi dengan duniawi semata) perlu bertakwa terlebih dahulu? Jika memang perlu, lalu mengapa orang-orang yang tidak mempercayai Tuhan atau bahkan malah melakukan kerusakan di bumi, masih saja Allah berikan rejeki?
Dari sini, perlu dicatat bahwa untuk mendapatkan rejeki materi (duniawi) tidak membutuhkan syarat takwa. Artinya ada rejeki lain (selain materi) yang Allah ingin berikan kepada orang yang bertakwa. Itulah rejeki ukhrawi/immateri.
Mari kita coba renungkan dengan seksama terakait definisi rejeki di atas. Catatannya: Pertama, rejeki adalah segala sesuatu yang bermanfaat; Kedua, ia anugrah yang kontinu; Ketiga, pemberian tertentu dalam kondisi dan keadaan tertentu untuk kebutuhan hidup manusia; keempat, bisa berupa duniawi dan ukhrawi.
Rejeki itu harus bermanfaat bagi keberlangsungan hidup manusia, maka makanan dan minuman bisa disebut rejeki karena tanpa makan dan minum manusia akan mati. Lalu apakah hanya dengan makan dan minum tanpa ketenangan hati atau jiwa kehidupan manusia akan berlangsung? Jelas tidak, karena ternyata banyak orang yang hartanya melimpah tetapi mereka bunuh diri atau mengkonsumsi barang-barang terlarang. Artinya, kebutuhan tersebut tidak hanya berupa materi, tapi immateri juga.
Begitupun dengan rejeki immateri lain yaitu ilmu, apakah tanpa ilmu hidup akan berlangsung? Jelas tidak. Karena pada hakikatnya kita hidup dengan ilmu, walapun dengan bentuk yang sangat sederhana, misalnya mengolah singkong menjadi makanan dsb.
Maka dari itu, Salat Dhuha seyogyanya tidak hanya dibatasi untuk mengetuk pintu rejeki duniawi saja. Tapi yang lebih penting, justru harus mampu mengetuk pintu rejeki batin/ukhrawi.
Salat Dhuha dan Proses Pembelajaran di Sekolah
Dalam konteks proses pembelajaran, Salat Dhuha itu sangat penting. Proses pembelajaran seyogyanya menjadi perantara memperoleh ilmu. Kita sudah buktikan bahwa ilmu adalah salah satu bentuk rejeki ukhrawi. Untuk memperoleh ilmu itu, maka diperlukan sebuah upaya yang tidak hanya lahir semata, tapi justru upaya batin. Karena pada hakikatnya, dalam tradisi keislaman ilmu tidak mungkin didapatkan tanpa kebersihan hati. Proses ilmu dalam tradisi Islam tidak hanya sampai pada kognitif saja. Tapi dia harus menghujam dan kokoh ke dalam jiwa. Sehingga akan melahirkan tindakan-tindakan yang bijaksana.
Dari sanalah diperlukan sebuah ikatan antara pencari ilmu dan sumber ilmu (Tuhan). Salah satu ikatan tersebut yaitu dengan menjalin hubungan dengan doa dan salat. Karena hakikat salat (berasal dari kata: sha-lam-ya semakna dengan silaturahmi berarti menyambung/mengkoneksikan) merupakan mengkoneksikan antara seorang hamba dengan penciptanya.
Tidak hanya itu, Salat Dhuha dalam proses pembelajaran pun akan menarik rejeki-rejeki lain seperti ikatan batin, kasih saynag antar guru dan murid, karena tidak sedikit selalu terjadi jarak bahkan tindakan kekerasan antara keduanya. itu semua terjadi karena Allah telah mengangkat rejeki dari proses perolehan ilmu.
Dengan Salat Dhuha pun –karena merasa didampingi oleh Allah, akan membentuk rasa optimisme kepada warga madrasah dalam menghadapi proses pembelajaran. Dengan optimisme itu, warga madrasah tidak lagi merasa kerdil menghadapi pelajaran-pelajaran yang dianggap monster karena saking sulitnya dipahami.
Terakhir, pada intinya, lebih penting dari mengetuk dan menarik rejeki lahir, justru Salat Dhuha akan mengetuk dan menarik rejeki batin dalam proses pembelajaran. Rejeki batin tersebut bisa berupa, dipermudahkannya memahami ilmu, ikatan kasih sayang antar seluruh warga madrasah, saling menghargai, rasa optimisme sehingga akan lahir lingkungan yang nyaman, bersih dan tentram.
Maka dari itu, Salat Dhuha atau bentuk ibadah lainnya seperti program salat berjamaah, tadarus al-Qur’an dll, menjadi sangat penting dilaksanakan di lingkungan madrasah. Bukan hanya sebatas program yang dituangkan dalam rencana tahuan atau bahkan hanya sebatas gaya-gayaan. Bahkan jangan sampai madrasah terkesan ‘sekuler’ dengan mengesampingkan program-program spiritualitas. Padahal program tersebut sangat penting untuk memupuk seluruh aspek batin warga madrasah. Sehingga akan lahir tindakan-tindakan yang sesuai dengan aturan. Karena pada hakikatnya, tindakan lahir dari dorongan batin (rasa). Bukankah itu pula misi inti dari kenabian? Yaitu menyempurnakan akhlak (aspek batin dari manusia).[]
Penulis: Beta Firmansyah, S.Ag.